Masjid kecil itu terlihat sepi. Dekat ke pintu masuk ada tulisan
terpatri pada sebuah prasasti di dinding. Isinya tentang pembangunan
masjid pada Maret 1988 atas swadaya masyarakat setempat dan warga
Jepang. Dalam prasasti disebutkan, warga Jepang sebagai “teman-teman
kami”. Di bawahnya, ada tulisan dengan aksara kanji.
Inilah Masjid Syudaha Cot Plieng Bayu. Letaknya di Desa Beunot, Syamtalira Bayu, Aceh Utara. Sejarah berdirinya masjid ini bersinggungan dengan Jepang. Masjid ini simbol keberanian Teungku Cot Plieng melawan Jepang bersama para santrinya. Masjid sempat dibakar Jepang pada 1942.
Teungku Iskandar, pengurus masjid, menuturkan alasan Jepang membakar
masjid ketika mereka tidak menemukan Teungku Cot Plieng atau Teungku
Abdul Djalil, ulama muda yang sangat dicari tentara Jepang pada masa
itu. Iskandar adalah cicit Teungku Cot Plieng.
Teungku Abdul Djalil wafat dalam sebuah pertempuran dengan Jepang. Makamnya kini terletak di samping masjid, berdampingan dengan makam dua istrinya. Di situ juga ada makam santri-santri Teungku Cot Plieng.
Sebagai bukti sejarah pula, tugu pahlawan dibuat di depan Jalan Medan-Banda Aceh. Pada tugu tertera jumlah pejuang Aceh yang syahid dalam perang melawan Jepang.
Setelah dibakar, pada 1988 seperti tertera di prasasti, masjid kembali
dibangun oleh Jepang karena merasa bersalah terhadap masyarakat Aceh.
Pembangunannya dikoordinasi oleh Mahmud Syarakawa.
Ternyata, tak cuma Jepang yang bersinggungan sejarah dengan masjid itu. “Pada 1998, senjata GAM juga pernah di-peusijuk di masjid ini. GAM juga berdoa di makam Teungku,” kata Iskandar.
Masjid Cot Plieng sekarang kerap dijadikan sebagai tempat pengajian dan tadarus para wanita lanjut usia. “Pada bulan Ramadan mereka melakukan pengajian dan tadarus untuk mendekatkan diri kepada Allah,” ujar Teungku Iskandar.
Ternyata, tak cuma Jepang yang bersinggungan sejarah dengan masjid itu. “Pada 1998, senjata GAM juga pernah di-peusijuk di masjid ini. GAM juga berdoa di makam Teungku,” kata Iskandar.
Masjid Cot Plieng sekarang kerap dijadikan sebagai tempat pengajian dan tadarus para wanita lanjut usia. “Pada bulan Ramadan mereka melakukan pengajian dan tadarus untuk mendekatkan diri kepada Allah,” ujar Teungku Iskandar.
Masjid dibangun diatas pertapakan tanah ukuran 9 x 12 meter persegi.
Meski telah dipugar, kini bangunan masjid kurang perawatan. Beberapa
kaca jendela masjid sudah pecah. Pagar dari kawat yang mengelilingi
masjid sebagian putus.
Iskandar mengatakan permohonan bantuan kepada Pemerintah Aceh Utara sudah lama dilakukan, tetapi tak pernah direspons.
Sejak pemugaran, kata dia, dana pengembangan masjid hanya dari sedekah warga. Jalan menuju masjid sejak dari tugu masih berupa batu kerikil bercampur tanah.“Ketika hujan, jalan itu becek, terlihat seperti kubangan kerbau,” kata Iskandar.
Iskandar berharap Pemerintah Aceh Utara memberikan sumbangsih agar masjid bersejarah itu tak punah begitu saja atau setidaknya Pemerintah Jepang memugar kembali masjid termasuk makam para syuhada agar terlihat indah.
Iskandar mengatakan permohonan bantuan kepada Pemerintah Aceh Utara sudah lama dilakukan, tetapi tak pernah direspons.
Sejak pemugaran, kata dia, dana pengembangan masjid hanya dari sedekah warga. Jalan menuju masjid sejak dari tugu masih berupa batu kerikil bercampur tanah.“Ketika hujan, jalan itu becek, terlihat seperti kubangan kerbau,” kata Iskandar.
Iskandar berharap Pemerintah Aceh Utara memberikan sumbangsih agar masjid bersejarah itu tak punah begitu saja atau setidaknya Pemerintah Jepang memugar kembali masjid termasuk makam para syuhada agar terlihat indah.
0 komentar:
Post a Comment