Friday, December 23, 2011

Sejarah Melayu di Tangan Sang Pujangga

Oleh Andi Nur Aminah

Majapahit besar di bawah kepemimpinan Hayam Wuruk dengan patihnya Gajah Mada. Maka, Tun Sri Lanang bisa diibaratkan Gajah Mada Aceh di era Sultan Iskandar Muda.

Batu nisan penanda makam itu tertanam bersama sepi beratus tahun silam. Batu tersebut tak sendiri, beberapa lainnya menyebar di sekitar makam. Tiga abad berlalu, batu tersebut tak sanggup meneriakkan siapa yang berada di liang kubur di bawahnya.


Hampir empat abad terkubur sepi, ditemani ilalang liar, terpaan hujan, angin, badai, serta terik matahari, akhirnya pada 2004 lalu, terkuaklah siapa pemilik makam tersebut. “Saya sangat gembira. Buat saya, makam itu sangat berharga,” ujar Pocut Haslinda Muda Dalam Azwar.


Makam tersebut adalah makam Tun Sri Lanang, seorang penasihat kerajaan di zaman kegemilangan Sultan Iskandar Muda memimpin Aceh. Pocut Haslinda adalah pewaris kedelapan Tun Sri Lanang. Bertahun-tahun lamanya Haslinda mencari makam tersebut, yang sudah diwasiatkan oleh ayahnya, Teuku Hamid Azwar. “Mencarinya sampai ke Malaysia, tapi ternyata makam Tun Sri Lanang ada di Samalanga, tak jauh dari istananya,” ujar Haslinda.


Sekitar 20 meter dari makam yang kini sudah dipagari dan beratap genting berwarna biru itu, berdiri bangunan rumah beratap rumbia. Dahulu, di tempat itulah Tun Sri Lanang menjalankan segala aktivitasnya selama menjadi raja di Samalanga, Aceh, pada 1613-1659.


Penemuan makam, bagi Haslinda, menjadi jawaban yang tak kuasa dia lukiskan dari keinginannya mencari persinggahan terakhir sang leluhur. Perempuan paruh baya ini mengatakan, sebelum ayahnya mangkat pada 1997, dia ‘disumpah’ untuk menemukan jejak leluhurnya. Haslinda mengisahkan, saat dia masih kanakkanak sang ayah memberitahukan bahwa dia adalah keturuan Tun Sri Lanang. Benak Haslinda pun kemudian dipenuhi tanya tentang siapa itu Sri Lanang.


Sang ayah menyampaikan, jika Sri Lanang adalah leluhur Haslinda di Malaysia, seorang datuk bendahara, pujangga Melayu, penasihat kesultanan, dan juga pernah menjadi raja di Samalanga, Aceh. “Beliau menyuruh saya datang ke kampung-kampung, mungkin masih ada turunannya, cari itu di Malaysia atau di mana saja, cobalah pergi ziarah,” ujar Haslinda mengenang ucapan ayahnya.


Sejak masih remaja, tamat SMA, hingga Haslinda berangkat studi ke Jerman, hingga kembali lagi ke Tanah Air, tak henti-hentinya Hamid Azwar menyampaikan agar Haslinda mencari makam leluhurnya itu. Menurutnya, sejak kecil dia sudah tahu tentang Samalanga, masjid tua Samalanga yang dibangun di masa Tun Sri Lanang, rumah peninggalannya, serta sejumlah benda peninggalan seperti siwah, rencong, dan sejenis tempat sirih dari logam.


Namun, di mana dia dimakamkan, tak ada yang tahu rimbanya. Sekian lama dicari-cari hingga ke Malaysia, tak ada yang menyangka jika makam Tun Sri Lanang ternyata berada tak jauh dari tempat dia bermukim. “Sejak saya kecil, di sekitar rumah itu memang ada banyak makam-makam, tapi kami tidak tahu yang mana. Yang dicari justru di Malaysia, tapi ternyata ada tak jauh dari rumahnya,” ujar Haslinda.


Nama dan kiprah Sri Lanang bahkan jauh lebih terkenal di Malaysia. Menurut Haslinda, sejak 1987, berbagai seminar tentang ketokohan Sri Lanang sudah dilakukan di Malaysia juga di Singapura. Turunan Sri Lanang di Malaysia, di antaranya di Kesultanan Johor, Pahang, Trengganu, dan Selangor.


Siapa Tun Sri Lanang?

Tak kenal maka tak sayang. Begitulah kata pepatah. Tun Sri Lanang, sebuah nama yang oleh sebagian besar orang masih sangat asing di telinga. Siapa dia? Saat ini, di Indonesia, mungkin hanya kerabat yang memiliki garis keturunan langsung yang sedikit mengenalnya. Karena, di Aceh pun nama ini belum begitu familiar.


Jangankan di Aceh, masyarakat Gampong Kuta Blang, Kecamatan Samalanga, Kabupaten Bireuen, Nangroe Aceh Darussalam (NAD), sendiri belum banyak yang tahu tentang Tun Sri Lanang. Padahal, di kampung yang terletak sekitar 40 kilometer dari kota Bireuen itulah jasad Sri Lanang menyatu dengan tanah.


Menurut Nurasyiah, perempuan yang sudah 60 tahun lebih bermukim di lokasi tak jauh dari bekas istana dan makam Tun Sri Lanang, gundukan batu-batu makam itu memang sudah lama ada. Tapi, kami tak tahu itu makam siapa. Baru belakangan ini sering datang orang-orang dari Jakarta dan Malaysia ke sini. Itu setelah tsunami, ujarnya.


Tun Sri Lanang, bagi masyarakat Samalanga, Aceh, dikenal sebagai Ampun Chik Dato Bendahara Tun Muhammad, yang bergelar Orang Kaya Tun Seberang. Dialah raja pertama yang memerintah di Samalanga, kini salah satu desa di Kabupaten Bireuen. Dia menjadi raja pada 1613 hingga 1659.


Tun Sri Lanang, terutama di wilayah Johor Baru, dikenal sebagai pewaris kerajaan Malaka. Dia lahir di Seluyut, Batu Sawar, Johor Lama, pada 1567 dan dikenal dengan nama Tun Muhammad serta bergelar Dato Bendahara Orang Kaya Paduka Raja dari Batu Sawar Johor Lama.


Nama Tun Sri Lanang memang tak setenar Sultan Iskandar Muda meskipun mereka hidup di zaman yang sama. Dia tak lain bendahara atau perdana menteri dan penasihat Iskandar Muda. Sultan Aceh lainnya yang juga pernah mendudukkan dia sebagai penasihat adalah Sultan Iskandar Tsani dan Sultanah Safiatuddin.


Gemilangnya Kesultanan Aceh di bawah kepemimpinan Iskandar Muda tak lepas dari andil Tun Sri Lanang sebagai penasihat sultan. Dalam seminar Ketokohan Tun Sri Lanang dalam Sejarah Dua Bangsa yang digelar di Samalanga, Bireuen, Aceh, belum lama ini, beberapa pakar dari dua negara mengupas tentang tokoh ini.


Dien Madjid, guru besar sejarah UIN Syarif Hidayatullah, dalam makalahnya menyebutkan, Tun Sri Lanang diberi mandat oleh Iskandar Muda untuk menjadi raja pertama di Samalanga. Selain sebagai perpanjangan tangan Sultan, tugas utama Tun Sri Lanang adalah mengembangkan dan menyemarakkan ajaran Islam di daerah tersebut. Di sanalah dia membangun masjid, pesantren, dan mengajarkan berbagai pengetahuan khususnya pengetahuan keislaman kepada masyarakatnya.


Sebelum memimpin Samalanga, dia menjabat sebagai bendahara atau perdana menteri di Kerajaan Johor. Dien menyebutkan, meski lahir di wilayah Johor, menurut silsilah, Tun Sri Lanang bukan berasal dari pribumi Johor ataupun Aceh. Dia justru turunan kelima dari Amir Badaruddin Khan, mani purindam atau bangsawan Melayu keturunan India dari Bukit Siguntang, serta Raja Sind (India).


Menurut Pocut Haslinda, Amir Badaruddin Khan adalah turunan kelima Sultan Alauddin Tuqluq Syah, pendiri Kerajaan Tuqluq atau Kesultanan Delhi. Sementara, ibu Tun Sri Lanang, menurut Haslinda, berasal dari daerah yang saat ini dikenal sebagai Afghanistan.


Bagaimana sampai Tun Sri Lanang berpindah ke Aceh? Tak lain karena pengaruh kekuasaan Sultan Iskandar Muda. Akibat bermain mata dengan Portugis, Kerajaan Aceh berseteru dengan Johor yang berlangsung hingga 1641. Perang panjang tersebut menelan banyak korban jiwa, baik dari pihak Aceh sendiri, Aru, Bintan, Kedah, Johor, Pahang, maupun Trengganu. Populasi penduduk Aceh menurun tajam.


Sultan yang memimpin Aceh sejak 1607 pun memutar otak untuk kembali menghidupkan Aceh dengan menyebarkan penduduk. Di Batu Sawar, Johor, seluruh penduduknya, perangkat istana termasuk Sultan Alauddin Riayatsyah III bersama putrinya, Kamalilah (Putri Pahang), serta Perdana Menteri Tun Sri Lanang, ikut pindah ke Aceh.


Gajah Mada Aceh

Masa-masa emas Kesultanan Aceh adalah di era Sultan Iskandar Muda. Menurut Dien Madjid, jika ingin disamakan dengan Kerajaan Majapahit, Sultan Iskandar Muda dapat disandingkan dengan Hayam Wuruk. Sedangkan, Tun Sri Lananglah yang bertindak sebagai Gajah Madanya.

Secara geografis, kekuasaan Aceh pada masa Sultan Iskandar Muda hampir berhasil mengontrol seluruh selat antara Semenanjung Malaya dan pantai Sumatra. Juga sekaligus mendapat tambahan perluasan kekuasaan total atas penduduk asli di bagian barat laut kepuluan di Indonesia.


Pengangkatan Tun Sri Lanang untuk menjadi raja di Samalanga memicu pro-kontra di kalangan Istana Kesultanan. Pasalnya, dia berasal dari negeri seberang, Johor. Meskipun adik perempuannya, Putri Pahang, kemudian dipersunting oleh Sultan Iskandar Muda, tetap saja dia dianggap bukan seseorang yang berhak menjadi raja di Samalanga.


Menurut Dien, hikayat sejarah menyebutkan sempat terjadi debat kusir antara panitia dan masyarakat untuk memperebutkan tampuk kepemimpinan Samalanga. Namun akhirnya, siapa yang akan jadi raja di Samalanga diserahkan kepada Sultan.


Putri Pahang kemudian menyuruh saudara laki-lakinya itu menuju Samalanga. Awalnya, Tun Sri Lanang hidup bertani dan menjadi nelayan bersama masyarakat Samalanga. Setelah cukup lama hidup bersama-sama masyarakat Samalanga, Tun Sri Lanang kemudian berangkat menuju Aceh menemui Sultan bersama 12 tokoh masyarakat lainnya.


Singkat kisah, saat menemui Sultan dan mengutarakan keinginannya, Sultan mengatakan, siapa yang cocok jarinya dengan cincin kerajaan, dialah yang berhak memimpin di Samalanga. Ternyata, dari 12 tokoh masyarakat itu tak ada satu pun yang cocok. Cincin kerajaan itu hanya cocok di tangan Tun Sri Lanang. Akhirnya, Sultan pun mendaulat Tun Sri Lanang menjadi raja di Samalanga.


Namun sepulang menuju Samalanga, di perjalanan Tun Sri Lanang ditangkap dan dibuang ke laut oleh para rivalnya. Mengetahui hal itu, Sultan murka dan memerintahkan ke 12 tokoh yang menjadi otak pembuangan Tun Sri Lanang ke laut itu dieksekusi. Panglima Nyak Doom Reksa yang mendapat tugas tersebut. Belakangan, Tun Sri Lanang dinikahkan dengan putri Nyak Doom Reksa.


Sebagai langkah awal di Samalanga, Tun Sri Lanang membangun masjid. Pemerintahan Sultan Iskandar Muda memang sangat menggalakkan pembangunan masjid dan pesantren sebagai sarana untuk belajar bagi masyarakatnya.


Tiap negeri di pelosok Aceh didirikan sebuah masjid sebagai pertanda berkembangnya ajaran Islam. Selama menjalankan kepemimpinan di Samalanga, Tun Sri Lanang selain sebagai raja juga menjalankan fungsinya sebagai ulama sekaligus pujangga yang menulis kitab Salalatus Salatin. Kendati bukan berlatar belakang sebagai ahli agama, kiprah dia untuk menumbuhkan syiar Islam di Aceh sangat besar.


Perkembangan ilmu pengetahuan dengan menjamurnya pendirian dayah atau pesantren di Aceh, menunjukkan masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda juga adalah masa keemasan ilmu pengetahuan. Di masa itu pula kedudukan ulama mulai terangkat. Seorang ulama tadinya berada di luar struktur kehidupan istana, namun akhirnya menempati posisi strategis, yaitu sebagai penasihat kesultanan. (Republika.co.id, TERAJU)


Makan Tun Sri Lanang, di Samalanga, Bireuen, Aceh


0 komentar:

Post a Comment