Friday, December 23, 2011

ACEH Sebelum Kesultanan Aceh

Oleh Andi Nur Aminah


Situs purba di beberapa kawasan sekitar Aceh Besar, menunjukkan pernah ada permukiman cukup ramai sebelum Kesultanan Aceh berdiri.



Pertengahan abad ke-15, Kesultanan Aceh Darussalam di proklamirkan pendiriannya di bawah kepemimpinan Sultan Ali Mughayat Syah (1496). Kesultanan ini berdiri menjelang keruntuhan kerajaan Isam pertama di Indonesia, Samudera Pasai (1360). Jejak kemegahan Kesultanan Aceh masih bisa ditemui hingga saat ini.

Aceh mencapai masa kegemilangannya saat dipimpin oleh Sultan Iskanda Muda. Kala itu, Aceh berhasil memukul mundur kekuasaan Portugis di Selat Malaka. Kesultanan Aceh pun mampu memperluas kekuasa annya hingga ke pesisir Pulau Sumatra hingga Jawa dan menyeberang hingga ke Semananjung Melayu. Penang, Perak, Selangor, Johor, dan Pahang di Malaysia pernah menjadi bagian Kesultanan Aceh saat dipimpin Sultan Iskandar Muda. Aceh pun melakukan hubungan diplomatik dengan semua bangsa yang melayari Lautan Hindia.

Kota Banda Aceh, yang kini menjadi ibu kota provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dahulu bernama Kutaraja. Di kota inilah sultan-sultan Aceh memimpin pemerintahan. Ketika Iskandar Muda wafat, ia digantikan oleh menantunya, Sultan Iskandar Tsani. Iskandar Muda memiliki seorang putra yakni Poteu Cut Meurah Pupok dan seorang putri Sultanah Safiatuddin. Namun putra mahkotanya, dibunuh oleh Sultan sendiri karena telah melakukan perbuatan asusila terhadap istri seorang panglima kerajaan. Karena itu, setelah Iskandar Muda wafat, yang menggantikannya adalah Iskandar Tsani, suami dari putrinya.

Setelah Iskandar Muda wafat, lalu digantikan oleh Iskandar Tsani, kemudian digantikan lagi oleh Sultanah Safiatuddin, Aceh pelan-pelan mengalami kemunduran pada 1641. Selain karena kehilangan figur kepemimpinan setangguh Iskandar Muda, faktor lain adalah kian menguatnya kekuasaan Belanda di Pulau Sumatra dan Selat Malaka. Selain itu, juga adanya perebutan kekuasaan di antara ahli waris tahta kesultanan. Kekuasaan Belanda di Sumatra pun meluas. Berbagai usaha untuk menyerbu Aceh pun kian membabi buta dilakukan. Perang Aceh, termasuk salah satu perang terbesar yang berlangsung selama 40 tahun.

Jauh sebelum berdirinya Kesultanan Aceh itu, jika ditelusuri, cukup banyak peninggalan berupa situs yang lokasinya saat ini berada di wilayah Aceh Besar. Menurut arkeolog dari Research Associate, Institute of Southeast Asian Studies, Singapura, Edwards McKinnon, jauh sebelum berdirinya kesultanan Aceh, pernah ada kehidupan kuno atau purba di wilayah Aceh.

McKinnon telah melakukan berbagai penelitian arkeologi di wilayah Aceh sejak 1975. Dia telah mengunjungi beberapa situs purbakala di sekitar Lhokseumawe maupun Aceh Besar. Beberapa analisis data telah dikumpulkannya selama 35 tahun, dari situ McKinnon berani menyatakan jika sebelum muncul Kesultanan Aceh di abad ke-15, pernah ada kota kuno di Aceh.

Kota kuno

Kesimpulan McKinnon itu, kemudian didukung oleh survei lapisan tsunami purba di wilayah Banda Aceh pada Mei 2011. Peneltian itu melanjutkan survei identifikasi oleh Tim EOS-ARKENAS-LIPI 2010 lalu, yang meneliti kota kuno Lamri atau Lamuri di Pantai Utara Banda Aceh.

Kota kuno Lamuri diduga hilang terbenam di p antai utara wilayah Banda Aceh, khususnya di Lambaro. McKinnon, pernah berusaha mencari jejak Kota Lamuri yang hilang itu. Lamuri adalah kerajaan yang lebih tua dari Kerajaan Samudera Pasai, yang dikenal sebagai kerajaan Islam pertama di Tanah Air, sebelum Kesultanan Aceh berdiri. Menurut McKinnon, saat melakukan pencarian sejak 35 tahun lalu itu, dari laporan penduduk setempat menyebutkan di kawasan pantai, pernah ditemukan fondasi masjid kuno di tepi pantai di kedalaman air. Jadi, dulu di situ bangunan yang diduga kuat adalah masjid, sekarang sudah di bawah laut. Kalau air laut surut, fondasinya bisa dilihat, ujar McKinnon.

Selain fondasi, juga bekas makam, pecahan peralatan dapur seperti piring atau mang kuk yang oleh McKinnon disebutnya sampah-sampah. Ada pula cincin batu untuk pema sangan guci besar. Karena dahulu, setiap ru mah di Aceh memiliki guci besar yang ber fung si untuk mencuci kaki sebelum naik rumah.

Lamri, Lamuri, atau Lamreh, kini adalah adalah salah satu gampong atau kampung di Kecamatan Darussalam, Aceh Besar. McKinnon mengatakan, di daerah ini, terdapat makam di pantai Lhok Lubhok yang telah di publikasikan oleh Suwedi Montana dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Dari tulisan yang ada di makam tersebut, diketahui itu adalah nisan Sultan Suleiman bin Abdullah bin Bashir yang wafat pada 608 H atau 1206 M.

Sayangnya, makam kuno di belakang Lub hok itu telah banyak mengalami kerusakan dan gangguan. Dan sampai sekarang, wilayah ditemukannya makam kuno tersebut belum didaftarkan sebagai benda cagar budaya (BCB) oleh BP3 Aceh maupun Sumut.

Menurut McKinnon, walaupun Suwedi dan timnya telah mengunjungi makam kuno di Lhok Lubhok, tampaknya mereka tidak tahu ada banyak nisan tua yang merupakan batu Aceh maupun nisan plang pleng di atas dataran tinggi tanjung Ujung Batee Kapal. Pada 2010, McKinnon bersama peneliti dari Puslitarkenas melakukan penggalian berkala di pinggir pantai Lhok Cut dan Lhok Lubhok. Di Lhok Lubot berhasil ditemukan banyak tembikar gaya Asia Selatan maupun keramik Cina dari masa Yuan. Di pantai Lubhok, tim menemukan sisa-sisa lapisan karang dalam tebing pantai yang telah dihancurkan dalam keadaan kecil-kecil seperti kerikil. Setelah dianalisis di laboratorium, menurut McKinnon, diperoleh bukti jika pernah ada tsunami yang menghantam pantai ini pada abad ke-15.

Awal 2011, menurut McKinnon, di sekitar kawasan Ujung Batee Kapal, ada pembukaan lahan oleh sekelompok masyarakat yang menggunakan buldozer, tepat di atas Lhok Cut. Terbukanya lahan tersebut serta-merta menunjukkan di lokasi tersebut adalah bekas permukiman kuno. Ditaksir sekitar abad ke-13 atau ke-14, ujar McKinnon.

McKinnon mengatakan, saat itu dia bersama Deddy Satria, arkeolog independen dari Banda Aceh, menemukan banyak sekali beling-beling kuno dari India Selatan. Juga beberapa jenis tembikar yang dibuat di beberapa lokasi di Asia Selatan (India maupun Sri Lanka), serta artefak lainnya di atas tanah galian tersebut.

Dari penemuan itu, McKinnon menyatakan, di lokasi tersebut pernah jadi permukiman dan merupakan tempat yang cukup ramai sekitar 600 hingga 700 tahun lalu. Beling-beling yang ditemukan, menurut McKinnon, berasal dari keramik Cina masa Yuan. Di antaranya berupa mangkuk-mangkuk blau putih dari dapur keramik Jiangxi, pecahan batuan Zhejiang dengan glasir hijau yang bermutu tinggi. Ada pula keramik berglasir biru dari Persia.

Dari peninggalan-peninggalan di atas Ujung Batee Kapal itu, diyakini pernah menjadi permukiman kuno Islam yang tua sekali, bahkan mungkin lebih tua dari situs peninggalan Samudera Pasai yang ada di Kecamatan Geudong, dekat Lhokseumawe.

Situs di Ujung Batee Kapal di Desa Lamreh, sayang belum masuk dalam BCB. Sudah sepatutnya, situs ini dilindungi UU No 11/2011 tentang UU perlindungan cagar budaya. Menurur McKinnon, bila dikelola dengan baik, situs ini bisa menjadi objek wisata yang unik, khusunya sejarah Islam. Pemandangan di kawasan inipun sangat indah dengan suasana tanjung yang sejuk.

Penemuan sisa-sisa permukiman purba juga terdapat di sepanjang pantai Aceh Besar. Antara lain, di Ujung Massamuka, Ujung Pancu, melewati Uleelhuee dan Ladong, hing ga menuju Krueng Raya, menjadi bukti sejarah pernah ada kehidupan di wilayah ini sebelum munculnya Kesultanan Aceh Darussalam.

Sayang memang, karena kondisinya banyak tak terurus dan terbengkalai. Memang, ada naskah yang menceritakan kejadian-kejadian di masa lalu, namun peninggalan fisiknya sangat terbatas. Situs peninggalan Kesultanan Aceh saja, juga sudah banyak yang dihancurkan oleh Belanda sesudah Aceh takluk.

Peninggalan Kesultanan Aceh yang masih tersisa dan bisa dilihat di Banda Aceh, tinggal Gunongan Putro Pang dan pintu Khop, maupun aliran Sungai Krueng Alui Daru. Selebihnya, hanyalah berupa makam dan batu Aceh yang masih dapat dilihat di beberapa lokasi di Kota Banda Aceh dan sekitarnya. Umumnya, kondisi nisan makam-makam juga tidak terurus. Banyak nisan kuno yang hilang, digilas atau rusak akibat terjangan tsunami, ataupun dicuri orang untuk dijadikan batu akik.



Situs-Situs Tanda Cinta dan Amarah


Ada banyak cara mengungkapkan cinta, begitu pula amarah. Jejak-jejak tanda cinta dan amarah yang berkobar dalam diri Sultan Iskandar Muda, ikon Kerajaan Aceh yang membawa Aceh terkenal hingga ke penjuru dunia, bisa dilihat dari peninggalan situs yang masih tersisa hingga saat ini.

Sejarah mencatatkan betapa gagah perkasanya Sultan Iskandar Muda menyerang negeri Johor, Pahang, Malaysia yang ketahuan bermain mata dengan Portugis. Usia mengalahkan negeri tersebut, Sultan membawa seluruh masyarakat Pahang dan Johor, termasuk perangkat kerajaannya, juga raja dan putra-putrinya. Adalah Putri Kamarlilah atau lebih dikenal sebagai Putro Phang (Putri Pahang), satu di antara rombongan yang diboyong Sultan Iskandar Muda.

Putri Pahang ini kemudian dipersunting Sultan menjadi permaisurinya. Sebagai tanda cinta Sultan, pada abad ke-17, dia membangun sebuah gunongan atau taman sari atas permintaan sang putri. Taman tersebut dibangun Sultan agar sang putri tidak kesepian jika ditinggalkan Sultan untuk menjalankan tugas kenegaraannya. Juga untuk menghibur sang putri yang kerap rindu kampung halamannya, Pahang.

Gunongan Putro Phang ini tempat bersenang-senang permaisuri Sultan Iskandar Muda. Setelah dia mandi dan rambutnya dicuci oleh para dayang-dayang, dia akan naik ke gunongan untuk berjemur dan bersenang-senang, ujar Ashari, petugas Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Banda Aceh, Bangunan tersebut berbentuk perse gi enam, menyerupai bunga yang ber tingkat tiga. Tonggak utamanya ber ada di tengah-tengah seperti mah kota yang berdiri tegak. Warnanya yang putih bersih terlihat mencolok di tengah hamparan rumput hijau.

Untuk masuk ke dalam gunongan tersebut, ada sebuah pintu besi setinggi satu meter sehingga jika ingin masuk, badan harus menunduk. Melalui pintu masuk itu, ada sebuah lorong yang menghubungkan lorong dengan tangga menuju ke tingkat tiga gunongan. Di sebelah gunong an ada sebuah bangunan yang disebut dengan Kandang Baginda. Kandang Baginda adalah lokasi pemakaman keluarga Sultan Kerajaan Aceh, salah satunya makan Sultan Iskandar Tsani, menantu Sultan Iskandar Muda.

Tak jauh dari lokasi gunongan, terdapat pula situs penting dalam sejarah Aceh. Namun, situs itu ber la wanan makna dengan gunongan. Itulah Kerkhof Peutjoet, sebuah kompleks pemakaman serdadu Belanda yang banyak tewas dalam perang Aceh. Di komples makam Belanda itu, terdapat satu makam yang bentuknya berbeda dari yang lainnya. Maka, itu adalah makam putra mahkota Poteu Cut Meurah Pupok.

Dia adalah putra mahkota Sultan yang tadinya disiapkan untuk menggantikan Sultan. Namun, akibat kesalahan yang dilakukannya, yakni melakukan tindakan asusila terhadap istri seorang panglima kerajaan, maka Meurah Pupok pun dibunuh oleh Sultan sendiri.

Peristiwa ini menunjukkan bahwa Sultan tak pandang bulu da lam menegakkan hukum. Tak cukup dengan memenggal leher anaknya, setelah meninggal, jenasah Meurah Pupok juga tidak diperbolehkan dikubur di kompleks makam kerajaan.

Sebelum eksekusi dilakukan Sultan terhadap putranya, beberapa pembesar kerajaan yang peduli terhadap kelangsungan kerajaan menemui Sultan Iskandar Muda dan memintanya agar membatalkan hukuman pancung tersebut. Mereka mengajukan berbagai usul seperti pengam punan atau cukup dengan mengasingkan Putra Mahkota ke negeri lain.

Namun, usulan mereka ditolak oleh Sultan. Dengan marah Sultan mengatakan, sebagai orang yang menegakkan hukum, maka kepada siapa pun yang bersalah, tidak terkecuali terhadap keluarganya sendiri, harus dihukum.

Dalam bahasa Aceh, Sultan meng ucapkan kalimat yang bermakna: hilang anak masih ada kuburan yang bisa kita lihat, tetapi jika hukum dan adat yang hilang, hendak ke mana kita mencarinya.

Situs sejarah ini, terletak di tengah Kota Banda Aceh. Lokasinya berdekatan dengan Museum Tsunami. Bahkan, dari atas Museum Tsunami, makam Meurah Pupok terlihat jelas menonjol dan bentuknya lain dibanding jejeran makam serdadu Belanda yang ada di kompleks pemakaman tersebut. (andi nur aminah- republica.co.id/koran/teraju)

MELAYU DALAM HIKAYAT

Oleh Andi Nur Aminah

Kitab Salalatus Salatin adalah karya sastra pertama tentang Melayu yang ditulis pujangga dari Melayu.

“Tuanlah yang Menyebut Diri, Fakir”

Wahai Tuan,

Kami malu karena merasa disindir,

Kami belum berbuat apa-apa untuk Tuan.

Sudah ratus tahun Tuan dilupakan,

Kami malu, Tuan.

Kini izinkan kami rebah di pangkuan

Tuan,

Dengan mata basah mengenang Tuan.

Bait-bait puisi berjudul “Tuanlah yang Menyebut Diri, Fakir” meluncur dari mulut LK Ara, penyair terkenal dari tanah rencong. Puisi yang dibuat spontan oleh LK Ara itu dibacakan saat malam penutupan rangkaian “Seminar Ketokohan Tun Sri Lanang dalam Sejarah Dua Bangsa” di Bireuen, belum lama ini.


Khidmat bait-bait puisi yang dibacakan itu membuat suasana di ruangan menjadi senyap. Seolah tersihir dibawa ke lorong waktu lebih dari tiga abad silam, saat Tun Sri Lanang atau Tun Muhammad masih memimpin kerajaan di Samalanga, Aceh. Gurat wajah bahagia juga haru terlihat pada wajah-wajah para keturunan Tun Sri Lanang yang hadir. Pocut Haslinda, pewaris kedelapan tokoh ini, tak kuasa menyembunyikan genangan air bening di kelopak matanya.


Berapa besar kebahagiaan Haslinda tak bisa ditakar. Yang pasti, tujuh tahun lamanya perjuangan dan usahanya menghimpun jejak peninggalan leluhurnya, Tun Sri Lanang, sudah usai. Kini, lima buah buku tentang Tun Sri Lanang sudah rampung. Masing-masing Tun Sri Lanang dalam Sejarah Dua Bangsa Indonesia-Malaysia; Terungkap Setelah 380 Tahun; Silsilah Raja-Raja Islam di Aceh Hubungannya dengan Raja-Raja Islam Melayu Nusantara; Perempuan yang Bercahaya dalam Lintasan Sejarah Aceh; dan Sulalatus Salatin Sejarah Melayu Versi Populer.


“Tujuh tahun saya sedikit menelantarkan keluarga, anak-anak, dan cucucucu saya. Saya minta maaf. Setelah ini, saya akan bayar waktu saya yang hilang bersama kalian,” ujar Haslinda disambut tepuk tangan undangan yang hadir di Pendopo Gubernuran, Banda Aceh.


Seminar yang dilaksanakan di Kabupaten Bireuen, tak jauh dari wilayah be kas Kerajaan Samalanga, di mana Tun Sri Lanang menjadi raja pertama kali di sana, telah mengungkapkan banyak hal. Seminar dihadiri sedikit 400 peserta yang berasal dari Indonesia, Malaysia, juga Singapura.


Dari seminar tersebut, lahir tiga rekomendasi yang menyebutkan ketokohan Tun Sri Lanang perlu diinternalisasikan melalui upaya kongkret yang didukung pemda dan pusat serta bangsa serumpun di Asia Tenggara, kawasan situs Tun Sri Lanang sebagai kawasan wisata sejarah Melayu Nusantara di Samalanga, akan segera diwujudkan, serta memasukkan ketokohan Tun Sri Lanang dalam kurikulum muatan lokal sekolah-sekolah di Aceh.


Dalam seminar itu pun terungkap, selain penasihat kesultanan di masa tiga sultan yang memerintah di Aceh, Tun Sri Lanang juga seorang pujangga agung Melayu yang menulis kitab Sulalatus Salatin. Kitab tersebut bisa menjadi acuan penulisan sejarah, khususnya Melayu, pada masa kini dan yang akan datang.


Guru Besar Sejarah UIN Syarif Hidayatullah, Dien Madjid, mengatakan, kisah Tun Sri Lanang selama ini memang gaungnya lebih terdengar di negeri jiran Malaysia melalui kitab Sulalatus Salatinnya. Bahkan karyanya itu, kata Dien, jadi rujukan dalam tata pemerintahan di Malaysia. Gelar bendahara di dalam sejarah Melayu tidak hanya bermakna ‘pemegang harta negara’, akan tetapi lebih multifungsi.


Sulalatus Salatin di Malaysia juga telah diajarkan kepada murid-murid dari tingkat SD hingga SMA. Kendati figur ini memang sudah lebih dikenal di Malaysia, Dien mengatakan, beberapa sejarawan Malaysia banyak yang meragukan kebe radaan Tun Sri Lanang. “Walaupun na ma nya santer terdengar, tapi dianggap tak lebih dari dongeng ataupun legenda,” kata Dien.


Padahal, melihat rekam jejaknya, baik yang ada di Batu Sawar (Malaysia) maupun Samalanga (Indonesia), dan peninggalan arkeologis yang tersisa, itu sudah cukup meyakinkan bahwa Tun Sri Lanang adalah sosok yang nyata. Sementara di Aceh, peran Tun Sri Lanang dalam sejarah Aceh terkesan dalam ‘golongan strata kedua’.


Masyarakat Aceh umumnya mengenal Sultan Iskandar Muda yang menjadi ikon historis Aceh. “Ini bisa dimaklumi karena belum banyak ahli sejarah negeri ini yang mengkaji kiprah Tun Sri Lanang lebih mendalam,” ujarnya.


Dien mengatakan, sebagai penasihat raja, pasti yang lebih dikenal adalah rajanya. Meskipun, pola pikir yang disampaikan sang raja bisa datang dari penasihatnya. Karena itu, dalam seminar tersebut Dien sepakat untuk mengungkap kele bihan-kelebihan pemikiran Tun Sri Lanang sehingga akan terlihat keterlibatannya sebagai bagian dari sejarah Aceh.


Pujangga Melayu

Kitab Salalatus Salatin menjadi kitab yang istimewa karena merupakan kitab pertama yang berisikan sejarah kerajaankerajaan Melayu yang ditulis seorang pujangga Melayu. Oman Fathurrahman, ketua Masyarakat Pernaskahan Nusantara, mengatakan bahwa karya Tun Sri Lanang itu merupakan suatu kebesaran karya sastra Melayu yang melampaui zamannya.


Menurut ahli filologi manuskrip Islam ini, Tun Sri Lanang memang tidak dikenal memiliki karya sastra Melayu lain selain Sulalatus Salatin (Perteturunan Raja-Raja). Meski hanya ada satu, karyanya sangat fenomenal. Teks ini mampu hidup berabad-abad lamanya melampaui kebesaran zamannya, bahkan pengarangnya sendiri, ujar Oman.


Dalam konteks sejarah kesusastraan Melayu klasik, Sulalatus Salatin merupakan teks Melayu terpenting yang berhasil memikat dan menyita perhatian sejumlah ahli. Dalam makalahnya, Oman memaparkan tanggapan sejumlah ahli tentang kitab ini.


Hooykaas misalnya, menyebutkan bahwa kitab tersebut mampu melukiskan sesuatu hal dengan cara yang sederhana sekali dan isinya sangat indah. Mereka pun membuat terjemahan dan daftar isi cerita-cerita itu.


Teuku Iskandar, yang menulis buku Kesusastraan Klasik Melayu Sepanjang Abad, menyebutkan bahwa semua kisah dalam Sulalatus Salatin seperti persiapan perang sebelum Portugis menyerang, peristiwa pertempurannya, pengunduran Sultan ke Muar dan Pahang, diceritakan begitu hidup. Seakan-akan penulisnya hadir menyaksikan langsung dengan mata kepala sendiri peristiwa-peristiwa itu.


Sejumlah buku, artikel, dan berbagai edisi teks kitab ini pernah ditulis dan diterbitkan dalam kurun waktu hampir dua abad. Sarjana paling awal yang menulis tentang kitab ini, menurut Oman, adalah John Leyden dengan Malay Annals pada 1821. Beberapa buku sejarah Melayu kemudian menyusul diterbitkan.


Publikasi tentang Salalatus Salatin pernah ditulis Henri Chambert-Loir, yang mencoba melihat kitab tersebut sebagai emitos politik Melayuf. Chamber-Loir menilai, kitab tersebut tak sekadar teks yang merekam dan menggambarkan peristiwa masa lalu, tapi juga merupakan kumpulan motif yang dapat dianggap sebagai mitos politik Melayu yang secara sadar digunakan untuk menonjolkan sebuah visi sejarah tertentu.


Menurut Oman, banyaknya perhatian para ahli terhadap kitab Salalatus Salatin tidak mengherankan. Itu karena karya tersebut merupakan sumber tertulis langka yang menjelaskan Kesultanan Melayu di Malaka abad ke-15.


Kitab Sulalatus Salatin ditulis dalam bahasa Arab gundul atau bahasa Jawi. Menurut Pocut Haslinda Muda Dalam Azwar, naskah aslinya menyebar di berbagai negara. Salah satunya disimpan di museum naskah-naskah kuno di Leiden. Kitab tersebut telah diterjemahkan ke lebih dari 40 bahasa.


Salah satu kitab Sulalatus Salatin versi populer yang ditulis oleh Haslinda, di situ tertulis 34 kisah tentang kerajaan-kerajaan Melayu. Kisah tentang kekuatan raja-raja Melayu zaman dahulu saat merebut wilayah dan memperluas kekuasaannya dapat ditemukan dalam kisah seperti Majapahit menyerang Tumasik, Raja Samudra diculik Raja Siam, Singapura ditaklukkan Majapahit, dan Raja Iskandar mendirikan Malaka.


Ada pula kisah-kisah romatis saat para raja-raja Melayu yang menembakkan panah asmaranya pada putri-putri raja. Seperti Petualangan Cinta Sultan Mahmud Syah, Hang Nadim menculik si cantik Tun Teja dari Istana Pahang, Sultan Mahmud meminang Putri Gunung Ledang, atau Pangeran Campa menikah dengan Putri Majapahit.


Yang tak kalah menariknya, dalam Sulalatus Salatin terdapat kisah sejarah Singapura, yang selama ini hanya dikenal me lalui sejarah Singapura modern pada masa kepemimpinan Thomas Stamford Raffles.


Menurut Djamal Tukimin, budayawan Singapura yang pada 2007 lalu mendapat Anugerah Kesusastraan Tun Sri Lanang, dalam kitab Sulalatus Salatin, Singapura yang dikenal saat ini dulunya bernama Temasek. Negeri tersebut pertama kali dibagun oleh Seri Teri Buana.


Penemuan Temasek yang akhirnya berubah nama menjadi Singapura, menurut Djamal, kerap dilakonkan dalam ber bagai bentuk pertunjukan, sandiwara, ataupun pantomim di Singapura. Hal ter sebut menyatakan bahwa sejarah awal Singapura itu menunjukkan kekuasaan Melayu juga pernah kokoh di wilayah ini.



Rumah peninggalan Tun Sri Lanang di Samalanga, Bireuen, Aceh

Sejarah Melayu di Tangan Sang Pujangga

Oleh Andi Nur Aminah

Majapahit besar di bawah kepemimpinan Hayam Wuruk dengan patihnya Gajah Mada. Maka, Tun Sri Lanang bisa diibaratkan Gajah Mada Aceh di era Sultan Iskandar Muda.

Batu nisan penanda makam itu tertanam bersama sepi beratus tahun silam. Batu tersebut tak sendiri, beberapa lainnya menyebar di sekitar makam. Tiga abad berlalu, batu tersebut tak sanggup meneriakkan siapa yang berada di liang kubur di bawahnya.


Hampir empat abad terkubur sepi, ditemani ilalang liar, terpaan hujan, angin, badai, serta terik matahari, akhirnya pada 2004 lalu, terkuaklah siapa pemilik makam tersebut. “Saya sangat gembira. Buat saya, makam itu sangat berharga,” ujar Pocut Haslinda Muda Dalam Azwar.


Makam tersebut adalah makam Tun Sri Lanang, seorang penasihat kerajaan di zaman kegemilangan Sultan Iskandar Muda memimpin Aceh. Pocut Haslinda adalah pewaris kedelapan Tun Sri Lanang. Bertahun-tahun lamanya Haslinda mencari makam tersebut, yang sudah diwasiatkan oleh ayahnya, Teuku Hamid Azwar. “Mencarinya sampai ke Malaysia, tapi ternyata makam Tun Sri Lanang ada di Samalanga, tak jauh dari istananya,” ujar Haslinda.


Sekitar 20 meter dari makam yang kini sudah dipagari dan beratap genting berwarna biru itu, berdiri bangunan rumah beratap rumbia. Dahulu, di tempat itulah Tun Sri Lanang menjalankan segala aktivitasnya selama menjadi raja di Samalanga, Aceh, pada 1613-1659.


Penemuan makam, bagi Haslinda, menjadi jawaban yang tak kuasa dia lukiskan dari keinginannya mencari persinggahan terakhir sang leluhur. Perempuan paruh baya ini mengatakan, sebelum ayahnya mangkat pada 1997, dia ‘disumpah’ untuk menemukan jejak leluhurnya. Haslinda mengisahkan, saat dia masih kanakkanak sang ayah memberitahukan bahwa dia adalah keturuan Tun Sri Lanang. Benak Haslinda pun kemudian dipenuhi tanya tentang siapa itu Sri Lanang.


Sang ayah menyampaikan, jika Sri Lanang adalah leluhur Haslinda di Malaysia, seorang datuk bendahara, pujangga Melayu, penasihat kesultanan, dan juga pernah menjadi raja di Samalanga, Aceh. “Beliau menyuruh saya datang ke kampung-kampung, mungkin masih ada turunannya, cari itu di Malaysia atau di mana saja, cobalah pergi ziarah,” ujar Haslinda mengenang ucapan ayahnya.


Sejak masih remaja, tamat SMA, hingga Haslinda berangkat studi ke Jerman, hingga kembali lagi ke Tanah Air, tak henti-hentinya Hamid Azwar menyampaikan agar Haslinda mencari makam leluhurnya itu. Menurutnya, sejak kecil dia sudah tahu tentang Samalanga, masjid tua Samalanga yang dibangun di masa Tun Sri Lanang, rumah peninggalannya, serta sejumlah benda peninggalan seperti siwah, rencong, dan sejenis tempat sirih dari logam.


Namun, di mana dia dimakamkan, tak ada yang tahu rimbanya. Sekian lama dicari-cari hingga ke Malaysia, tak ada yang menyangka jika makam Tun Sri Lanang ternyata berada tak jauh dari tempat dia bermukim. “Sejak saya kecil, di sekitar rumah itu memang ada banyak makam-makam, tapi kami tidak tahu yang mana. Yang dicari justru di Malaysia, tapi ternyata ada tak jauh dari rumahnya,” ujar Haslinda.


Nama dan kiprah Sri Lanang bahkan jauh lebih terkenal di Malaysia. Menurut Haslinda, sejak 1987, berbagai seminar tentang ketokohan Sri Lanang sudah dilakukan di Malaysia juga di Singapura. Turunan Sri Lanang di Malaysia, di antaranya di Kesultanan Johor, Pahang, Trengganu, dan Selangor.


Siapa Tun Sri Lanang?

Tak kenal maka tak sayang. Begitulah kata pepatah. Tun Sri Lanang, sebuah nama yang oleh sebagian besar orang masih sangat asing di telinga. Siapa dia? Saat ini, di Indonesia, mungkin hanya kerabat yang memiliki garis keturunan langsung yang sedikit mengenalnya. Karena, di Aceh pun nama ini belum begitu familiar.


Jangankan di Aceh, masyarakat Gampong Kuta Blang, Kecamatan Samalanga, Kabupaten Bireuen, Nangroe Aceh Darussalam (NAD), sendiri belum banyak yang tahu tentang Tun Sri Lanang. Padahal, di kampung yang terletak sekitar 40 kilometer dari kota Bireuen itulah jasad Sri Lanang menyatu dengan tanah.


Menurut Nurasyiah, perempuan yang sudah 60 tahun lebih bermukim di lokasi tak jauh dari bekas istana dan makam Tun Sri Lanang, gundukan batu-batu makam itu memang sudah lama ada. Tapi, kami tak tahu itu makam siapa. Baru belakangan ini sering datang orang-orang dari Jakarta dan Malaysia ke sini. Itu setelah tsunami, ujarnya.


Tun Sri Lanang, bagi masyarakat Samalanga, Aceh, dikenal sebagai Ampun Chik Dato Bendahara Tun Muhammad, yang bergelar Orang Kaya Tun Seberang. Dialah raja pertama yang memerintah di Samalanga, kini salah satu desa di Kabupaten Bireuen. Dia menjadi raja pada 1613 hingga 1659.


Tun Sri Lanang, terutama di wilayah Johor Baru, dikenal sebagai pewaris kerajaan Malaka. Dia lahir di Seluyut, Batu Sawar, Johor Lama, pada 1567 dan dikenal dengan nama Tun Muhammad serta bergelar Dato Bendahara Orang Kaya Paduka Raja dari Batu Sawar Johor Lama.


Nama Tun Sri Lanang memang tak setenar Sultan Iskandar Muda meskipun mereka hidup di zaman yang sama. Dia tak lain bendahara atau perdana menteri dan penasihat Iskandar Muda. Sultan Aceh lainnya yang juga pernah mendudukkan dia sebagai penasihat adalah Sultan Iskandar Tsani dan Sultanah Safiatuddin.


Gemilangnya Kesultanan Aceh di bawah kepemimpinan Iskandar Muda tak lepas dari andil Tun Sri Lanang sebagai penasihat sultan. Dalam seminar Ketokohan Tun Sri Lanang dalam Sejarah Dua Bangsa yang digelar di Samalanga, Bireuen, Aceh, belum lama ini, beberapa pakar dari dua negara mengupas tentang tokoh ini.


Dien Madjid, guru besar sejarah UIN Syarif Hidayatullah, dalam makalahnya menyebutkan, Tun Sri Lanang diberi mandat oleh Iskandar Muda untuk menjadi raja pertama di Samalanga. Selain sebagai perpanjangan tangan Sultan, tugas utama Tun Sri Lanang adalah mengembangkan dan menyemarakkan ajaran Islam di daerah tersebut. Di sanalah dia membangun masjid, pesantren, dan mengajarkan berbagai pengetahuan khususnya pengetahuan keislaman kepada masyarakatnya.


Sebelum memimpin Samalanga, dia menjabat sebagai bendahara atau perdana menteri di Kerajaan Johor. Dien menyebutkan, meski lahir di wilayah Johor, menurut silsilah, Tun Sri Lanang bukan berasal dari pribumi Johor ataupun Aceh. Dia justru turunan kelima dari Amir Badaruddin Khan, mani purindam atau bangsawan Melayu keturunan India dari Bukit Siguntang, serta Raja Sind (India).


Menurut Pocut Haslinda, Amir Badaruddin Khan adalah turunan kelima Sultan Alauddin Tuqluq Syah, pendiri Kerajaan Tuqluq atau Kesultanan Delhi. Sementara, ibu Tun Sri Lanang, menurut Haslinda, berasal dari daerah yang saat ini dikenal sebagai Afghanistan.


Bagaimana sampai Tun Sri Lanang berpindah ke Aceh? Tak lain karena pengaruh kekuasaan Sultan Iskandar Muda. Akibat bermain mata dengan Portugis, Kerajaan Aceh berseteru dengan Johor yang berlangsung hingga 1641. Perang panjang tersebut menelan banyak korban jiwa, baik dari pihak Aceh sendiri, Aru, Bintan, Kedah, Johor, Pahang, maupun Trengganu. Populasi penduduk Aceh menurun tajam.


Sultan yang memimpin Aceh sejak 1607 pun memutar otak untuk kembali menghidupkan Aceh dengan menyebarkan penduduk. Di Batu Sawar, Johor, seluruh penduduknya, perangkat istana termasuk Sultan Alauddin Riayatsyah III bersama putrinya, Kamalilah (Putri Pahang), serta Perdana Menteri Tun Sri Lanang, ikut pindah ke Aceh.


Gajah Mada Aceh

Masa-masa emas Kesultanan Aceh adalah di era Sultan Iskandar Muda. Menurut Dien Madjid, jika ingin disamakan dengan Kerajaan Majapahit, Sultan Iskandar Muda dapat disandingkan dengan Hayam Wuruk. Sedangkan, Tun Sri Lananglah yang bertindak sebagai Gajah Madanya.

Secara geografis, kekuasaan Aceh pada masa Sultan Iskandar Muda hampir berhasil mengontrol seluruh selat antara Semenanjung Malaya dan pantai Sumatra. Juga sekaligus mendapat tambahan perluasan kekuasaan total atas penduduk asli di bagian barat laut kepuluan di Indonesia.


Pengangkatan Tun Sri Lanang untuk menjadi raja di Samalanga memicu pro-kontra di kalangan Istana Kesultanan. Pasalnya, dia berasal dari negeri seberang, Johor. Meskipun adik perempuannya, Putri Pahang, kemudian dipersunting oleh Sultan Iskandar Muda, tetap saja dia dianggap bukan seseorang yang berhak menjadi raja di Samalanga.


Menurut Dien, hikayat sejarah menyebutkan sempat terjadi debat kusir antara panitia dan masyarakat untuk memperebutkan tampuk kepemimpinan Samalanga. Namun akhirnya, siapa yang akan jadi raja di Samalanga diserahkan kepada Sultan.


Putri Pahang kemudian menyuruh saudara laki-lakinya itu menuju Samalanga. Awalnya, Tun Sri Lanang hidup bertani dan menjadi nelayan bersama masyarakat Samalanga. Setelah cukup lama hidup bersama-sama masyarakat Samalanga, Tun Sri Lanang kemudian berangkat menuju Aceh menemui Sultan bersama 12 tokoh masyarakat lainnya.


Singkat kisah, saat menemui Sultan dan mengutarakan keinginannya, Sultan mengatakan, siapa yang cocok jarinya dengan cincin kerajaan, dialah yang berhak memimpin di Samalanga. Ternyata, dari 12 tokoh masyarakat itu tak ada satu pun yang cocok. Cincin kerajaan itu hanya cocok di tangan Tun Sri Lanang. Akhirnya, Sultan pun mendaulat Tun Sri Lanang menjadi raja di Samalanga.


Namun sepulang menuju Samalanga, di perjalanan Tun Sri Lanang ditangkap dan dibuang ke laut oleh para rivalnya. Mengetahui hal itu, Sultan murka dan memerintahkan ke 12 tokoh yang menjadi otak pembuangan Tun Sri Lanang ke laut itu dieksekusi. Panglima Nyak Doom Reksa yang mendapat tugas tersebut. Belakangan, Tun Sri Lanang dinikahkan dengan putri Nyak Doom Reksa.


Sebagai langkah awal di Samalanga, Tun Sri Lanang membangun masjid. Pemerintahan Sultan Iskandar Muda memang sangat menggalakkan pembangunan masjid dan pesantren sebagai sarana untuk belajar bagi masyarakatnya.


Tiap negeri di pelosok Aceh didirikan sebuah masjid sebagai pertanda berkembangnya ajaran Islam. Selama menjalankan kepemimpinan di Samalanga, Tun Sri Lanang selain sebagai raja juga menjalankan fungsinya sebagai ulama sekaligus pujangga yang menulis kitab Salalatus Salatin. Kendati bukan berlatar belakang sebagai ahli agama, kiprah dia untuk menumbuhkan syiar Islam di Aceh sangat besar.


Perkembangan ilmu pengetahuan dengan menjamurnya pendirian dayah atau pesantren di Aceh, menunjukkan masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda juga adalah masa keemasan ilmu pengetahuan. Di masa itu pula kedudukan ulama mulai terangkat. Seorang ulama tadinya berada di luar struktur kehidupan istana, namun akhirnya menempati posisi strategis, yaitu sebagai penasihat kesultanan. (Republika.co.id, TERAJU)


Makan Tun Sri Lanang, di Samalanga, Bireuen, Aceh