Thursday, November 4, 2010

Penjualan Aset Negara Jadikan Bangsa Indonesia Kuli di Negeri Sendiri

Hampir setiap kali kita membuka koran, yang kita temukan adalah berita tentang penjualan aset negara kepada perusahaan asing, perpanjangan kontrak kerja mereka, atau akusisi sebagian (besar) saham BUMN oleh perusahaan milik negara asing.

Tetangga terdekat kita saja, Singapura, yang punya perjanjian pertahanan lima negara, dengan Amerika Serikat, Inggeris, Australia dan Malaysia, telah menguasai perekonmian Indonesia dan wilayah udara kita. Buktinya, Singapura menguasai saham Bank Internasional Indonesia (BII) lewat holding company-nya, Temasek, Telkomsel lewat SingTel, Indosat lewat Singapore Technologies and Telemedia, pengelolaan pelabuhan Jakarta International Container Terminal lewat Hutchinson Pty. Ltd.

Marwan Batubara, dalam bukunya, "Divestasi Indosat: Kebusukan sebuah Rezim" halaman 34-35, mengatakan bahwa "divestasi Indosat dibungkus oleh logika idiot atau logika keledai karena:
- Dari monopoli Negara Indonesia jatuh ke tangan monopoli Negara Singpura;
- Dari BUMN Indonesia jatuh ke tangan BUMN Singapura."

Marwan mengatakan lebih jauh: "Menteri Negara Laksamana Sukardi dan para pendukung divestasi Indosat dengan bersemangat berargumentasi bahwa salah satu tujuan privatisasi Indosat adalah untuk menciptakan "fair competition" di bidang telekomunikasi, agar terbina perkembangan bisnis telekomunikasi yang terlepas dari jerat monopoli negara dan pemerintah demi terwujudnya pasar yang efektif dan efisien."

"Akan tetapi," kata Marwan lebih lanjut, "Ungkapan tersebut ternyata palsu dan bohong belaka karena tidak lebih dari argumentasi yang dibalut dengan logika idiot atau logika keledai, mengingat:
  • STT bersama SingTel adalah anak perusahaan yang bernaung di bawah perusahaan milik Pemerintah Singapura, yakni Temasek Holding (Pte)Ltd;
  • Dengan penetapan STT/ICL sebagai pemenang tender divestasi Indosat, menjadikan perusahaan tersebut menguasai dan mengontrol bisnis selular Satelindo dan IM3;
  • SingTel sebagai anak Temasek yang lain telah meguasai 35% saham penyelenggara selular Telkomsel.

Dengan demikian, mayoritas industri
selular Indonesia dikuasai Temasek Holding. Artinya Temasek telah memonopoli bisnis selular di Indonesia." Demikian Marwan.

Dan masih ada lagi, itu maling-maling BLBI yang melarikan uang bantuan likuiditas Bank Indonesia ke Singapura dan menetap di sana tapi pemerintah Singapura tidak mau mengekstradisi mereka. Hal-hal tersebut hanya sekedar untuk menyebutkan beberapa perusahaan saja.

Langgar UUD-45
Tetapi aset negara yang dijual itu adalah kekayaan alam Indonesia yang menyangkut kepentingan rakyat banyak, yang menurut UUD-45 pasal 33 harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan kesejahteraan rakyat. Jadi, penjualan aset negara itu merupakan pelanggaran terhadap UUD-45.

Sementara perusahaan-perusahaan asing itu berjaya dengan keuntungan yang mereka peroleh dari Indonesia, masyarakat setempat di sekitar kegiatan usaha perusahaan asing tersebut, khususnya pertambangan dan Hak Pengelolaan Hutan, digusur, kehilangan mata pencaharian, tempat tinggal dan tanah ulayat mereka. Pihak-pihak yang ikut menikmati keuntungan dari kehadiran perusahaan-perusahaan asing itu adalah para pejabat yang terlibat KKN dalam pemberian izin dan pengelolaan wilayah itu.

Lihat saja, Pegunungan Grasberg di Papua sudah habis dikuras dan sekarang sudah jadi cekungan, sebentara lagi datang hujan Pegunungan Grasberg sudah menjadi danau raksasa. Perusahaan pertambangan emas, perak dan tembaga milik Freeport McMoran tersebut pada 2002, menurut company profile-nya, mencapai rekor volume penjualan tembaga sebesar 1.5 pound net; 2,3 juta ounce emas, dan mengapalkan rata-rata 2,8 juta metrik ton per tahun. Tapi company profile tersebut tidak menjelaskan hasil tambang lain, seperti uranium dsb. yang juga terkandung di dalam tanah yang dikuras dan dibawa ke Amerika itu.

PT Newmont Minahasa sudah mengeduk hasil tambang emas di Buyat dan meninggalkan penderitaan berbagai penyakit pada penduduk kampong daerah tesebut, menurut sejumlah LSM; Newmont juga sudah mulai mengelola tanah-tanah pertambangan di Sumatera Utara lewat anak perusahaannya, PT Newmont Pacific Nusantara. Begitu juga dengan penambangan emas yang dilakukannya di Nusa Tenggara yang basecamp-nya Newmont Nusa Tenggara di kawasan Buklit Elang, Desa Tatebal, Kecamatan Ropang, kabupaten Sumbawa, dibakar massa pada pertengahan Maret yang lalu.

Di Cepu, Jabar, Exxon Mobil sudah mengambil alih pengelolaan tambang minyak itu. Di udara, Satelit Palapa dan Indosat sudah dikuasai Singapura. Lewat penguasaan udara itu, kita praktis sudah dijajah Singapura, karena hampir semua pembicaraan telepon, faks, h/phone, pengiriman data, gambar dsb. Harus melalui satelit yang sudah dikuasai Singapura itu.

Sekarang Malaysia akan membuka perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara. Konsesi HPH-nya sudah didapat, tinggal membuka hutan (sudah?) dan digusurlah penduduk setempat dari tanah kelahiran mereka demi kepentingan penjualan aset negara.

Bangsa kuli di negeri sendiri
Kita tidak pernah mendengar atau membaca berita tentang sebuah BUMN Indonesia mengambil alih mayoritas BUMN negara lain di negeri mereka. Kalau semua aset bangsa kita terus-menerus dijual kepada asing, maka sebentar lagi tidak ada lagi apa-apa yang tersisa buat anak-cucu kita
kecuali tanah dan lingkungan hidup yang ekosistemnya sudah hancur berantakan. Bangsa kita menjadi kuli saja di negerinya sendiri.

Bukan itu saja. Fakta-fakat sejauh ini membuktikan bahwa banyak dari penanaman modal asing, khususnya pertambangan, perkebunan dan kehutanan, hanya membawa dampak buruk terhadap masyarakat setempat, bahkan pertikaian yang mengancam persatuan dan Negara Kesatuan RI.

Lihat saja, sekedar sebagai contoh. Sudah berapa banyak emas, perak dan tembaga, serta hasil tambang lainnya yang diangkut dari Papua oleh PT Freeport Indonesia tanpa memberi manfaat yang berarti bagi rakyat Papua yang tinggal di sekitar wilayah pertambangan itu? Yang mereka
timbulkan hanyalah ketimpangan sosial. Sebagian terbesar pekerja di pertambangan itu, selain orang asing, adalah pendatang dari Jawa, Sumatera, dan Sulawesi. Mereka tinggal di dalam komplek perumahan yang sangat mewah untuk standar setempat - ada listrik, televisi yang
siaran 24 jam, sekolah untuk anak-anak mereka, makan bermutu serta impor di toko-toko di dalam komplek.

Tapi, coba tengok keluar pagar. Rakyat Papua mengais-ngais sisa-sisa makanan di tempat sampah besar di luar komplek. Anak-anak mereka tidak bisa sekolah karena miskin. Belum kita bicara soal gizi buruk dan busung lapar yang terjadi di Papua karena pemerintah setempat lebih banyak menghabiskan waktunya di Jawa daripada mengurus rakyat di
propinsi atau kabupatennya.

Ketimpangan sosial juga terjadi di dalam komplek. Orang-orang bule tinggal di rumah-rumah yang lebih luks dan makan di kantin-kantin yang khusus untuk mereka. Orang Indonesia cukup gembira makan di kantin sendiri, tidak boleh makan di kantin pekerja asing kecuali ada yang
secara khusus mengundang mereka makan di sana. Mereka menjadi warganegara kelas dua di negeri sendiri dan pemerintah membiarkan hal itu terjadi.

Orang-orang Indonesia pendatang itu menduduki jabatan-jabatan penting karena keahlian mereka, sementara penduduk asli paling banter jadi supir dan melakukan pekerjaan-pekerjaan kasar lainnya. Ketimpangan sosial ini menimbulkan kecemburuan sosial yang di Papua mencapai puncaknya dalam kerusuhan di Abepura pada bulan Maret 2006 di mana dua orang anggota kepolisian dan seorang anggota angkatan udara meninggal.

Ketimpangan dan kecemburuan sosial seperti ini tidak hanya terjadi di wilayah pertambangan PT Freeport Indonesia, tapi juga di PT Newmont Minahasa, PT Newmont Nusa Tenggara, atau di pertambangan minyak Caltex di Dumai, Rumbai, dsb.

Menurut beberapa LSM, PT Newmont Minahasa bertanggung jawab atas penyakit yang diderita banyak masyarakat kampung dan nelayan di sana akibat pembuangan (tailing) limbah pertambangan yang mereka buang ke pantai. Hal yang sama juga terjadi pada penduduk suku-suku Amungwe di Papua. Perusahaan-perusahaan asing itu tentu saja membantah semua
tuduhan tersebut.

Berbagai-bagai protes dan demonstrasi sudah dilakukan oleh LSM-LSM pemerhati lingkungan terhadap perusakan lingkungan di wilayah pertambangan, konsesi Hak Penebangan Hutan (HPH) dan pembukaan hutan untuk perkebunan kelapa sawit, tapi pemerintah seolah-olah tuli.
Bukan itu saja, dengan alasan untuk memenuhi deficit APBN, pemerintah tampaknya akan terus menjual aset negara kepada perusahaan-perusahaan asing.

Tetapi sekali satu aset negara dijual maka aset itu sudah menjadi milik perusahaan negara pembeli dan negaranya berhak melindungi aset warganegaranyanya di Indonesia. Kalau begitu maka tinggallah rakyat Indonesia menjadi kuli negeri sendiri, seperti di zaman VOC dahulu. (forum)


Mengenang Bireuen Saat Menjadi Ibukota Republik Indonesia

“Walau hanya seminggu, Bireuen pernah menjadi ibukota RI yang ketiga setelah Yogyakarta jatuh ketangan penjajah dalam agresi kedua Belanda. Namun sayangnya fakta sejarah itu tidak tercatat dalam sejarah Kemerdekaan RI. Sebuah benang merah sejarah yang terputus."
Sekilas, tidak ada yang terlalu istimewa di
Pendopo Bupati Kabupaten Bireuen tersebut. Hanya sebuah bangunan semi permanen yang berarsitektur rumah adat Aceh. Namun siapa nyana, dibalik bangunan tua itu tersimpan sejarah perjuangan kemerdekaan RI yang tidak boleh dilupakan begitu saja. Malah, di sana pernah menjadi tempat pengasingan presiden Soekarno.


Pendopo Bupati (Meuligoe Bireuen)

Kedatangan presiden pertama RI itu ke Bireuen memang sangat fenomenal. Waktu itu, tahun 1948, Belanda melancarkan agresi keduanya terhadap Yogyakarta. Dalam waktu sekejap ibukota RI kedua itu jatuh dan dikuasai Belanda. Presiden pertama Soekarno yang ketika itu berdomisili dan mengendalikan pemerintahan di sana pun harus kalang kabut. Tidak ada pilihan lain, presiden Soekarno terpaksa mengasingkan diri ke Aceh. Tepatnya di Bireuen, yang relatif aman. Soekarno hijrah ke Bireuen dengan menumpang pesawat udara Dakota. Pesawat udara khusus yang dipiloti Teuku Iskandar itu, mendarat dengan mulus di lapangan terbang sipil Cot Gapu pada Juni 1948.

Kedatangan rombongan presiden di sambut Gubernur Militer Aceh, Teungku Daud Beureu’eh, atau yang akrab disapa Abu Daud Beureueh, Panglima Divisi X, Kolonel Hussein Joesoef, para perwira militer Divisi X, alim ulama dan para tokoh masyarakat. Tidak ketinggalan anak-anak Sekolah Rakyat (SR) juga ikut menyambut kedatangan presiden sekaligus PanglimaTertinggi Militer itu.

Malam harinya di lapangan terbang Cot Gapu diselenggarakan Leising (rapat umum) akbar. Presiden Soekarno dengan ciri khasnya, berpidato berapi-api, membakar semangat juang rakyat di Keresidenan Bireuen yang membludak lapangan terbang Cot Gapu. Masyarakat Bireuen sangat bangga dan berbahagia sekali dapat bertemu mukadan mendengar langsung pidato presiden Soekarno tentang agresi Belanda 1947-1948 yang telah menguasai kembali Sumatera Timur (Sumatera Utara) sekarang.

Selama seminggu Presiden Soekarno berada di Bireuen aktivitas Republik dipusatkan di Bireuen. Dia menginap dan mengendalikan pemerintahan RI di rumah kediaman Kolonel Hussein Joesoef, Panglima Divisi X Komandemen Sumatera, Langkat dan tanah Karo, di Kantor Divisi X (Pendopo Bupati Bireuen sekarang). Jelasnya, dalam keadaan darurat, Bireuen pernah menjadi ibukota RI ketiga, setelah jatuhnya Yogyakarta ke dalam kekuasaan Belanda. Sayangnya catatan sejarah ini tidak pernah tersurat dalam sejarah kemerdekaan RI.

Tugu Batee Kureng

Memang diakui atau tidak, peran dan pengorbanan rakyat Aceh atau Bireuen pada khususnya dalam rangka mempertahankan kemerdekaan Republik ini tidak boleh dipandang sebelah mata. Perjalanan sejarah membuktikannya. Di zaman Revolusi 1945, kemiliteran Aceh dipusatkan di Bireuen.Di bawah Divisi X Komandemen Sumatera Langkat dan Tanah Karo dibawah pimpinan Panglima Kolonel Hussein Joesoef berkedudukan di Bireuen. Pendopo Bupati Bireuen sekarang adalah sebagai kantor Divisi X dan rumah kediaman Panglima Kolonel Hussein Joesoef. Waktu itu Bireuen dijadikan sebagai pusat perjuangan dalam menghadapi setiap serangan musuh. Karena itu pula sampai sekarang, Bireuen mendapat julukan sebagai “Kota Juang”.

Kemiliteran Aceh yang sebelumnya di Kutaradja, kemudian dipusatkan di Juli Keude Dua (Sekitar tiga kilometer jaraknya sebelah selatan Bireuen-red) di bawah Komando Panglima Divisi X, Kolonel Hussein Joesoef, yang membawahi Komandemen Sumatera, Langkat dan Tanah Karo. Dipilihnya Bireuen sebagai pusat kemiliteran Aceh, lantaran letaknya yang sangat strategis dalam mengatur strategi militer untuk memblokade serangan Belanda di Medan Area yang telah menguasai Sumatera Timur.

Pasukan tempur Divisi X Komandemen Sumatera yang bermarkas di Juli Keudee Dua, Bireuen, itu silih berganti dikirim ke Medan Area. Termasuk diantaranya pasukan tank dibawah pimpinan Letnan Yusuf Ahmad, atau yang lebih dikenal dengan panggilan Letnan Yusuf Tank. Sekarang dia sudah Purnawirawan dan bertempat tinggal di Juli Keude Dua, Kecamatan Juli, Kabupaten Bireuen. Menurut Yusuf Tank, waktu itu pasukan Divisi X mempunyai puluhan unit mobil tank. Peralatan perang itu merupakan hasil rampasantank tentara Jepang yang bermarkas di Juli Keude Dua.

Dengan tank-tank itulah pasukan Divisi X mempertahankan Republik ini di Medan Area pada masa agresi Belanda pertama dan kedua tahun 1947-1948. Juli Keude Dua juga memiliki nilai historis kemiliteran penting dalam mempertahakan Republik. Terutama di zaman Revolusi 1945. Pendidikan Perwira Militer (Vandrecht), yakni untuk mendidik perwira-perwira yang tangguh di pusatkan di Juli Keude Dua.

Tugu Radio Rimba Raya

Kendati usianya sudah uzur, Yusuf Tank masih dapat mengingat berbagai semua peristiwa sukaduka perjuangannya masa silam. Salah satu diantaranya tentang peranan Radio Rimba Raya milik DivisiX Komandemen Sumatera yang mengudara ke seluruh dunia dalam enam bahasa, Indonesia, Inggris, Urdu, Cina, belanda dan bahasa Arab. Dikatakan, “Radio Rimba Raya mengudara ke seluruh dunia 20 Desember 1948 untuk memblokade siaran propaganda Radio Hervenzent Belanda di Batavia yang yang menyiarkan bahwa Indonesia sudah tidak ada lagi. Dalam siaran bohong Radio Belanda seluruh wilayah nusantara sudah habis dikuasai Belanda. Padahal, Aceh masih tetap utuh dan tak pernah berhasil dikuasai Belanda.

Bukti Prasasti Radio Rimba Raya (Klik untuk Memperbesar)

Dengan mengudaranya Radio Rimba Raya ke seluruh dunia, masyarakat dunia sudah mengetahui secara jelas bahwa Indonesia sudah merdeka sejak 17 Agustus 1945. Karena itu, saat kedatangan Presiden Soekarno ke Bireuen bula

n Juni 1948, dalam pidatonya yang berapi-api di lapangan terbang Cot Gapu, Soekarno mengatakan, Aceh yang tidak mampu dikuasai Belanda dijadikan sebagai Daerah Modal Republik Indonesia. Selama seminggu Presiden Soekarno berada di Bireuen, kemudian bersama Gubernur Militer Aceh Abu Daud Beureueh berangkat ke Kutaradja (Banda Aceh). Di Kutaradja Gubernur Milter Aceh mengundang seluruh saudagar Aceh di hotel Aceh. Dia menyampaikan permintaan Presiden Soekarno agar rakyat Aceh menyumbang dua pesawat terbang untuk Republik.

Pesawat Seulawah I
Peta Kabupaten Bireuen

Presiden Soekarno sempat mogok makan siang alias Ngambek sebelum Abu Beureu’eh memberi jawaban, menyetujui permintaannya itu agar Aceh menyumbang dua pesawat terbang. Kesepakatan para saudagarAceh dengan Abu Daud Beureu’eh, mereka bersedia menyumbang dua pesawat terbang untuk Republik. Dengan sumber dana obligasi rakyat Aceh, yakni Pesawat Seulawah I dan Seulawah II. Kedua pesawat terbang sumbangan rakyat Aceh itu adalah sebagai cikal bakal pesawat Garuda Indonesia Airways saat ini. Sedangkan Radio Rimba Raya adalah sebagai cikal bakal Radio RRI sekarang. (forum)